JAKARTA - Kesadaran mengenai pentingnya literasi dalam kehidupan peserta didik kembali disorot pemerintah, khususnya setelah berbagai fenomena terkait kesehatan mental siswa semakin mencuat dalam beberapa tahun terakhir.
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen), Fajar Riza Ul Haq, menegaskan bahwa budaya literasi bukan hanya berkaitan dengan kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga memiliki fungsi yang lebih dalam bagi perkembangan emosional peserta didik.
Pernyataan itu disampaikan dalam Pertemuan Pembelajaran Sebaya: Relawan Literasi Masyarakat (Relima) di Bogor, Jawa Barat, Selasa, 11 November 2025 Fajar menyampaikan bahwa literasi jika dilakukan secara konsisten akan memberi dampak signifikan terhadap pemulihan mental murid. “Saya ingin mengatakan bahwa kegiatan literasi yang dilakukan ini tidak semata-mata mengajarkan anak-anak kita bisa membaca dan menulis atau memahami teks,” ujar Fajar.
Ia menambahkan bahwa manfaat literasi jauh melampaui aspek akademis. “Namun sebenarnya, aktivitas literasi yang jika dilakukan dengan baik dan benar dapat membantu murid memulihkan kesehatan mental mereka,” lanjutnya. Penegasan tersebut menjadi dasar penting bagi pengembangan ekosistem literasi yang tidak hanya fokus pada keterampilan teknis, tetapi juga pada kesejahteraan mental.
Relima Didorong Perkuat Budaya Membaca
Wamen Fajar turut menyoroti tantangan besar yang dihadapi generasi muda saat ini, terutama karena derasnya paparan pesan dari media sosial. Ia melihat bahwa anak-anak kini lebih sering berinteraksi dengan gawai dan dunia maya dibanding melakukan kontak sosial secara langsung. Hal itu memengaruhi dinamika emosional mereka, termasuk kemampuan memahami makna, berempati, hingga membangun hubungan.
Dalam konteks tersebut, peran Relima dinilai sangat strategis. Melalui program yang mereka jalankan, Relima diharapkan mampu menumbuhkan semangat membaca langsung dari buku dan mengembalikan kedekatan anak dengan sumber bacaan yang berkualitas. “Saya mendukung penuh adanya Relima ini yang nantinya juga dapat membangun pertumbuhan sosial masyarakat untuk peserta didik,” kata Fajar.
Ia menekankan bahwa kehadiran komunitas literasi seperti Relima menjadi jembatan antara sekolah dan masyarakat dalam memperkuat budaya literasi. “Ketika interaksi sosial itu pudar dengan adanya media sosial, saat ini sangat diperlukan peran komunitas seperti Relima yang bisa menjembatani antara sekolah dan juga masyarakat. Sehingga, budaya literasi juga menumbuhkan dan membuat murid menjadi manusia yang bermakna,” pungkasnya.
Tantangan Generasi Z dalam Tekanan Sosial
Di tengah upaya memperkuat budaya literasi, persoalan kesehatan mental di kalangan generasi muda Indonesia justru menunjukkan tren mengkhawatirkan. Data beberapa tahun terakhir menegaskan bahwa isu ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Sepanjang 2012 hingga 2023, tercatat 2.112 kasus bunuh diri di Indonesia, hampir setengahnya dilakukan oleh kelompok usia muda.
Sementara itu, dalam beberapa pekan terakhir, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan adanya 25 kasus bunuh diri anak hingga Oktober 2025. Sebagian besar kasus tersebut dipicu tekanan sosial, perundungan di lingkungan sekolah, dan lemahnya dukungan emosional dari lingkungan sekitar. Data ini memperlihatkan betapa urgennya upaya mengatasi masalah kesehatan mental di kalangan pelajar.
Generasi muda juga kini menghadapi situasi sosial yang berbeda dibanding era sebelumnya. Dengan dunia digital yang terus berkembang, interaksi tatap muka cenderung menurun, sementara tekanan sosial dan ekspektasi akademik justru meningkat. Alhasil, kondisi ini membuat sebagian pelajar merasakan kesepian meski berada dalam lingkungan yang ramai.
Situasi Mendesak yang Tak Boleh Diabaikan
Kondisi meningkatnya kesepian dan tekanan mental membuat banyak anak muda mencari alternatif ruang aman untuk mengekspresikan perasaan mereka. Tidak sedikit yang memilih kembali ke dunia digital sebagai tempat pelarian. Fenomena baru pun bermunculan, salah satunya adalah meningkatnya penggunaan layanan kecerdasan buatan (AI) sebagai ruang curhat.
“Dalam situasi yang serba cepat dan penuh tekanan, banyak Gen Z justru memilih untuk mencari tempat aman di dunia digital,” demikian gambaran mengenai pola perilaku generasi muda saat ini. Hal itu muncul dari laporan UMN Consulting—lembaga penelitian yang berafiliasi dengan Universitas Multimedia Nusantara dan Kompas Gramedia—yang dirilis Selasa, 14 November 2025. Survei tersebut menunjukkan bahwa anak muda semakin sering memanfaatkan teknologi AI untuk menyampaikan isi hati maupun sebagai bentuk konseling kesehatan mental.
Aplikasi seperti ChatGPT, Gemini, Copilot, dan DeepSeek menjadi pilihan karena pengguna merasa didengar tanpa takut dihakimi. Meski teknologi tersebut dapat memberi ruang emosional sementara, banyak pakar meyakini bahwa interaksi sosial nyata tetap diperlukan untuk menjaga kesehatan mental secara lebih menyeluruh.
Literasi sebagai Ruang Aman bagi Pelajar
Melihat kompleksitas tantangan tersebut, literasi menjadi salah satu strategi yang diyakini mampu memberi pengaruh positif bagi kesehatan mental pelajar. Dengan membaca, siswa dapat memasuki dunia yang berbeda, menenangkan pikiran, hingga memahami berbagai nilai dan perspektif yang menumbuhkan empati. Proses literasi pun melibatkan refleksi, yang dapat membantu murid mengelola perasaan serta tekanan yang mereka hadapi.
Dalam hal ini, pembangunan ekosistem literasi harus terus diperkuat melalui sekolah, komunitas, dan juga keluarga. Kehadiran Relima sebagai relawan literasi menjadi salah satu wadah yang diharapkan dapat memfasilitasi kegiatan tersebut secara lebih luas, terutama bagi anak-anak yang membutuhkan pendampingan emosional sekaligus penguatan kemampuan literasi.
Melalui kolaborasi pemerintah, sekolah, komunitas, dan masyarakat, budaya literasi diharapkan bisa menjadi salah satu strategi penting dalam membangun generasi muda yang lebih kuat secara mental, kritis, serta memiliki kecakapan dalam memahami informasi yang mereka terima setiap hari.