JAKARTA - Perkembangan teknologi kecerdasan buatan perlahan mengubah cara manusia memandang foto dan gambar digital. Jika dulu foto editan atau buatan komputer mudah dikenali karena terlihat kasar dan tidak alami, kini batas antara gambar asli dan hasil olahan AI semakin kabur. Banyak orang mulai kesulitan membedakan mana foto yang benar-benar diambil kamera dan mana yang dihasilkan oleh mesin.
Perubahan ini tidak terjadi secara instan. Dalam beberapa tahun terakhir, model AI penghasil gambar berkembang sangat pesat, baik dari sisi resolusi, detail visual, hingga kemampuan meniru karakteristik kamera ponsel. Akibatnya, kepercayaan terhadap keaslian gambar di ruang digital mulai diuji. Foto tidak lagi selalu merepresentasikan kenyataan, melainkan bisa menjadi hasil rekayasa teknologi yang sangat canggih.
Evolusi Kualitas Gambar Buatan AI
Baca Juga
Beberapa tahun lalu, gambar buatan AI masih memiliki banyak kekurangan. Resolusinya rendah, detailnya tidak konsisten, dan tampilannya kerap terasa janggal. Bentuk wajah manusia sering kali aneh, proporsi tidak seimbang, serta tekstur terlihat buatan. Pada masa itu, membedakan foto asli dan gambar AI bukan perkara sulit.
Namun situasinya berubah drastis. Media teknologi The Verge mencatat bagaimana alat pembuat gambar milik OpenAI, Dall-E, mengalami lonjakan kemampuan dalam waktu singkat. Pada tahap awal, Dall-E hanya mampu menghasilkan gambar berukuran 256 x 256 piksel. Resolusi tersebut membuat detail visual terbatas dan mudah dikenali sebagai gambar buatan mesin.
Hanya dalam waktu sekitar satu tahun, Dall-E berkembang pesat. Resolusi gambarnya meningkat hingga 1024 x 1024 piksel dan kualitas visualnya menjadi jauh lebih realistis. Detail wajah, pencahayaan, hingga tekstur objek tampak lebih alami. Perkembangan ini menjadi salah satu titik penting yang membuat gambar AI semakin sulit dibedakan dari foto asli.
Peran Model Baru Google dalam Realisme Visual
Selain OpenAI, Google juga memainkan peran besar dalam peningkatan kualitas gambar berbasis AI. Pada 2025, Google merilis model gambar baru untuk Gemini yang diberi nama Nano Banana. Model ini dirancang untuk menghasilkan foto dengan tampilan yang sangat mendekati kondisi nyata.
Tidak berhenti di situ, kurang dari sebulan kemudian Google memperbarui model tersebut menjadi Nano Banana Pro. Google mengklaim bahwa versi terbaru ini merupakan model gambar paling canggih dan realistis yang pernah mereka kembangkan. Kemampuannya dinilai melampaui generasi sebelumnya dalam hal akurasi visual.
Nano Banana Pro mampu mengambil pengetahuan dari dunia nyata dan menampilkannya secara konsisten dalam gambar. Model ini juga unggul dalam menampilkan teks serta meniru karakteristik foto hasil kamera ponsel, mulai dari kontras, penajaman, hingga pilihan pencahayaan. Hasilnya, gambar yang dihasilkan AI tidak lagi terasa asing, melainkan sangat familiar bagi mata pengguna.
Pandangan Pengembang dan Pelaku Industri
Pendiri aplikasi kamera iPhone bernama Halide, Ben Sandofsky, memberikan pandangan menarik terkait fenomena ini. Ia menjelaskan bahwa foto yang dihasilkan AI kerap terasa lepas dari kenyataan karena adanya kecenderungan membawa pemrosesan visual yang kuat serta karakter kamera foto yang sudah akrab di mata pengguna.
Menurutnya, justru hal inilah yang membuat gambar AI tampak meyakinkan. Ketika AI meniru gaya pemrosesan kamera ponsel yang sudah biasa dilihat sehari-hari, otak manusia cenderung menerima gambar tersebut sebagai sesuatu yang nyata. "Google mungkin telah melewati hal tidak nyaman tersebut," jelasnya.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Sam Altman, CEO OpenAI. Ia menyatakan bahwa citra dari dunia nyata dan hasil AI pada akhirnya akan menyatu di masa depan. Ketika titik tersebut tercapai, perbedaan antara foto asli dan buatan AI tidak lagi menjadi masalah besar. Dunia visual akan memasuki fase baru, di mana realitas dan rekayasa digital berjalan berdampingan.
Tantangan Membedakan Foto Asli dan AI
Meski semakin realistis, gambar buatan AI sebenarnya masih memiliki ciri tertentu. Foto AI sering kali menipu ketika dilihat sekilas, tetapi kejanggalannya bisa terlihat jika diperhatikan secara detail. Kesalahan kecil pada anatomi, pencahayaan yang terlalu sempurna, atau tekstur yang tidak konsisten masih menjadi petunjuk keberadaan AI.
Namun, bagi masyarakat umum, kemampuan membedakan tersebut tidak selalu mudah. Di tengah derasnya arus informasi visual di media sosial, gambar sering dikonsumsi secara cepat tanpa analisis mendalam. Inilah yang membuat foto hasil AI berpotensi disalahartikan sebagai dokumentasi nyata.
Sebagai langkah antisipasi, produsen perangkat juga mulai menghadirkan solusi teknologi. Seri Pixel 10, misalnya, telah dilengkapi kemampuan tanda tangan kriptografi. Setiap foto yang diambil kamera akan diberi penanda khusus untuk mengidentifikasi bagaimana gambar tersebut dibuat. Dengan cara ini, keaslian foto dapat diverifikasi secara digital.
Ke depan, tantangan terbesar bukan hanya soal teknologi, tetapi juga literasi visual masyarakat. Kemampuan memahami konteks, sumber, dan keaslian gambar menjadi semakin penting. Di era ketika AI mampu menciptakan visual yang nyaris sempurna, kehati-hatian dalam menerima informasi visual menjadi kunci agar tidak mudah tertipu oleh gambar yang tampak nyata, tetapi sebenarnya hasil rekayasa.
Celo
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Resep Chicken Steak Ala Resto Rumahan dengan Saus Melimpah Praktis yang Harus di Coba
- Kamis, 18 Desember 2025
10 Rekomendasi Kuliner Legendaris Surabaya Lezat Ikonik Penuh Cerita yang Wajib di Coba
- Kamis, 18 Desember 2025
Resep Waterless Chicken Claypot Praktis, Gurih, dan Hangatkan Suasana Rumah
- Kamis, 18 Desember 2025
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
NASA Ungkap Penjelasan Fenomena Ubur Ubur Merah di Langit
- 18 Desember 2025
2.
Solusi Ampuh Atasi HP Lemot Akibat Memori Penuh
- 18 Desember 2025
3.
2.617 Pinjol dan Investasi Bodong Diblokir OJK
- 18 Desember 2025
4.
iPhone 18 Pro Hadir dengan Desain Baru Revolusioner
- 18 Desember 2025
5.
MyRepublic Salurkan Bantuan Kemanusiaan dan Literasi Digital Medan
- 18 Desember 2025











