JAKARTA – Pemerintah Indonesia dalam upaya menjaga stabilitas harga batu bara di pasar global, mewajibkan eksportir batu bara untuk menggunakan Harga Batu Bara Acuan (HBA) dalam setiap transaksi ekspornya. Langkah ini dipandang sebagai strategi untuk lebih mengontrol fluktuasi harga dan memastikan keuntungan jangka panjang bagi ekonomi Indonesia yang sangat bergantung pada sektor pertambangan.
Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menegaskan bahwa peraturan ini masih dalam tahap perumusan dan akan segera disahkan melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM. "Kami akan mempertimbangkan untuk membuat Keputusan Menteri agar harga HBA itulah yang dipakai untuk transaksi di pasar global," ujar Bahlil dalam konferensi pers mengenai Capaian Kinerja Sektor ESDM pada awal pekan ini. "Ini adalah langkah strategis untuk menjamin bahwa harga produk kita tetap kompetitif dan stabil di mata dunia," tambahnya.
Hingga saat ini, harga batu bara Indonesia seringkali mendapatkan acuannya dari berbagai indeks, termasuk Indonesian Coal Index (ICI) yang digunakan baik di pasar domestik maupun internasional. Meskipun ICI memberikan panduan harga yang berbasis mingguan, fluktuasi tajam kadangkala tak dapat dihindari karena faktor eksternal seperti permintaan global dan dinamika pasar energi internasional.
Merujuk data International Energy Agency (IEA), Indonesia saat ini merupakan eksportir batu bara terbesar di dunia, dengan jumlah ekspor mencapai 353 juta ton pada tahun 2023. Hal ini menegaskan peran signifikan Indonesia dalam pasar batu bara global. Oleh karena itu, stabilitas harga batu bara Indonesia di pasar internasional menjadi isu yang sangat penting dan mendesak untuk segera ditangani.
Bahlil menekankan pentingnya kepatuhan eksportir terhadap aturan baru tersebut. Eksportir yang enggan mematuhi aturan baru ini terancam kehilangan izin ekspor mereka. "Kalau tidak mau, ya, kita tidak usah [kasih] izin ekspornya," tegas Bahlil. Pernyataan tegas ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjalankan kebijakan ini tanpa toleransi bagi pihak-pihak yang menolak untuk mengikuti aturan tersebut.
Langkah pemerintah ini diharapkan tidak hanya mampu mendongkrak stabilitas harga batu bara di pasar, tetapi juga memberikan jaminan keberlangsungan industri pertambangan Indonesia di tengah persaingan pasar global. Keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada koordinasi yang baik antara pemerintah dan para pelaku industri pertambangan.
Sejumlah pengamat industri mengungkapkan bahwa penetapan HBA sebagai acuan tunggal dalam transaksi ekspor memang sudah seharusnya dilakukan sejak lama. Beberapa negara penghasil komoditas sejenis telah menerapkan kebijakan serupa untuk melindungi industri domestik mereka dari ketidakpastian pasar global.
Pemerintah Indonesia mengharapkan bahwa penerapan harga acuan ini dapat mengurangi ketergantungan terhadap fluktuasi harga pasar dunia yang bisa berdampak pada ketidakstabilan ekonomi di dalam negeri. "Ini bukan hanya soal menjaga harga, tetapi juga bagaimana kita bisa memastikan bahwa industri pertambangan kita bisa tetap beroperasi dan berkontribusi secara maksimal terhadap perekonomian kita," ungkap seorang pejabat tinggi ESDM yang tidak ingin disebutkan namanya.
Ke depan, pemerintah juga tengah mengkaji berbagai potensi strategi lain yang bisa dilakukan untuk memperkuat daya saing batu bara Indonesia di pasar global. Di antara strategi yang tengah dikaji adalah diversifikasi pasar ekspor dan peningkatan mutunya agar lebih bersaing. Langkah-langkah ini penting sebagai bagian dari upaya jangka panjang untuk memposisikan Indonesia sebagai pemimpin dalam industri pertambangan batu bara dunia.
Dalam menghadapi tantangan ini, sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan pihak terkait lainnya sangat diperlukan untuk menciptakan ekosistem pertambangan yang lebih tangguh, berkelanjutan, dan berdaya saing tinggi. Dengan begitu, peran batu bara sebagai komoditas andalan dalam neraca perdagangan Indonesia dapat terus dipertahankan maupun ditingkatkan di masa mendatang.