JAKARTA – Sejumlah organisasi masyarakat sipil, yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, berkumpul di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) di Kota Bandung pada Senin pagi. Acara yang difasilitasi oleh Yayasan Kurawal dan Tempo Witness itu merupakan bagian dari kampanye untuk menyoroti dampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Jawa Barat.
Diskusi Serius tentang Dampak Lingkungan dan Sosial
Kampanye ini bertajuk “Sorotan PSN PLTU di Jawa Barat”, dan menampilkan talkshow serta diskusi yang dihadiri oleh sekitar 70 peserta, termasuk kalangan umum dan mahasiswa. Empat pembicara utama dalam acara ini adalah Direktur LBH Bandung Heri Pramono, Direktur Walhi Jabar Wahyudin, akademisi Universitas Padjadjaran Erri Megantara—yang juga bagian dari Tim Kajian Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat—serta Analis Ketahanan Energi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Barat Arnold Mateus.
“Sebaran PLTU di Jawa Barat seperti PLTU Pelabuhan Ratu, PLTU 1 Indramayu, serta PLTU 1 dan 2 Cirebon menjadi perhatian utama kami,” ujar Heri Pramono. Dia juga menyoroti bahwa dua PLTU lainnya, yakni PLTU 2 Indramayu dan PLTU Tanjung Jati A, belum beroperasi karena adanya gugatan atas izin dampak lingkungan yang diajukan oleh LBH Bandung. Hal ini, menurut Heri, karena “pembangunan PLTU tidak bisa dilanjutkan tanpa adanya Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKLH).”
“Warga tidak pernah diberi informasi apapun mengenai keputusan pembangunan PLTU 2 x 1000 MW,” lanjutnya. LBH sedang memperjuangkan gugatan hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta untuk mengeluarkan PLTU Tanjung Jati dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Implikasi Pembangunan terhadap Lingkungan dan Masyarakat
Di sisi lain, Direktur Walhi Jabar Wahyudin mengatakan bahwa PSN seringkali mengesampingkan masalah lingkungan dan hak asasi manusia. “Pembangunan ini tidak hanya merampas lahan produktif milik warga, tetapi juga mengancam kesehatan masyarakat di sekitar PLTU,” ucapnya. Dia merujuk pada peningkatan tren penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) di kawasan Indramayu, di mana “warga yang terdampak masalah kesehatan paling banyak adalah anak-anak dan orang lanjut usia.”
Selain itu, Wahyudin juga mengkritik kebijakan pembakaran bersama batubara dengan bahan biomassa di PLTU. “Implementasi hutan tanaman energi dan industri sawdust di Jawa Barat justru menambah emisi baru sekitar 26,48 juta ton,” katanya. Kebijakan ini berpotensi menyebabkan deforestasi dan konflik terkait lahan KHDPK yang digunakan.
Sementara itu, akademisi Erri Noviar Megantara menekankan bahwa masalah tidak terletak pada PSN itu sendiri, melainkan pada pengurusan proyeknya. “Sering kali, pemerintah mengabaikan dampak negatif dari proyek ini sejak awal hingga akhir,” ujarnya. Dia mengingatkan bahwa analisis dampak lingkungan (amdal) harus menjadi instrumen utama dalam menilai kelayakan proyek, dan berharap organisasi masyarakat untuk proaktif dan kritis dalam pembahasan amdal.
Tantangan dalam Kebijakan Energi Nasional
Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Barat, melalui analis Arnold Mateus, menyatakan bahwa dinasnya tidak memiliki kewenangan atas pelaksanaan proyek-proyek skala besar yang direncanakan oleh pemerintah pusat, semisal PSN. “Pelaksanaan teknologi carbon capture storage (CCS) di PLTU sebenarnya mungkin, tetapi mahal dan belum diaplikasikan secara luas,” ungkapnya. Dia juga menyarankan bahwa teknologi untuk mengurangi emisi dari PLTU harus diprioritaskan sebelum menerapkan CCS.
Proyek-proyek ini awalnya direncanakan sebagai bagian dari upaya memenuhi proyeksi kebutuhan energi listrik di jaringan Jawa, Madura, dan Bali. Akan tetapi, proyeksi tersebut mungkin perlu diperbarui seiring perubahan dalam kebijakan energi nasional dan penurunan permintaan listrik yang signifikan.
Dalam konteks perkembangan PSN di Jawa Barat ini, sangat penting untuk mengedepankan partisipasi masyarakat dan mengutamakan keberlanjutan lingkungan. Dialog antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya harus terus dilakukan agar dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial dapat diminimalisir. Jika tidak, ancaman terhadap hak asasi manusia dan keberlanjutan sumber daya alam akan menjadi semakin nyata dan mendesak untuk diatasi. Ini bukan hanya penting untuk warga Jawa Barat, tetapi bagi masa depan keberlanjutan lingkungan di Indonesia.