Ini Penyebab Nomor Satu Pertengkaran Pasangan Menurut Psikolog
- Rabu, 08 Oktober 2025

JAKARTA - Banyak pasangan meyakini sumber pertengkaran terbesar dalam hubungan adalah hal-hal besar seperti uang, urusan anak, atau masalah keintiman.
Namun menurut psikolog Dr. Mark Travers, yang telah meneliti dinamika hubungan selama bertahun-tahun, biang kerok sebenarnya jauh lebih sederhana — nada suara.
Ia menegaskan bahwa bukan isi ucapan seperti piring kotor di wastafel atau tagihan yang belum dibayar yang memicu konflik, melainkan cara seseorang berbicara tentang hal-hal tersebut. Nada suara yang keliru bisa mengubah percakapan ringan menjadi perdebatan sengit.
Menurut penelitian, sebagian besar makna komunikasi tidak disampaikan lewat kata-kata, melainkan melalui bahasa tubuh, ekspresi wajah, dan terutama intonasi suara. Misalnya, kalimat sederhana seperti “Kamu udah buang sampah belum?” bisa terdengar sebagai pertanyaan biasa atau tuduhan, tergantung pada nada pengucapannya. Begitu pula dengan kalimat “Terserah kamu deh…” yang bisa terasa menyindir meski sebenarnya tidak bermaksud demikian.
Baca JugaPerut Kembung Tak Nyaman? Coba 10 Makanan Rekomendasi Ahli Harvard Ini
“Dalam pertengkaran, nada membawa beban emosional,” jelas Travers.
Nada tajam dapat terdengar seperti menyalahkan, nada datar menimbulkan kesan acuh, sementara sarkasme bisa dianggap penghinaan. Menariknya, menurut Travers, manusia cenderung lupa pada kata-kata yang diucapkan saat bertengkar, tapi tidak pernah lupa bagaimana pasangan berbicara dan perasaan yang muncul karenanya.
Tak ada pasangan yang sempurna. Dalam kondisi lelah, stres, atau terburu-buru, seseorang bisa saja berbicara dengan nada yang tidak sesuai dengan niatnya. Karena itu, Travers menyarankan agar setiap orang menyadari perubahan nada suaranya saat berbicara, terutama ketika suasana mulai tegang.
Jika merasa nada bicara terdengar lebih tajam dari yang dimaksud, sebaiknya hentikan percakapan sejenak dan perbaiki penyampaian. Travers memberi beberapa contoh cara melakukannya, seperti:
“Maaf, nadaku barusan terdengar agak tajam. Aku coba ulangi ya.”
“Aku sadar kalimat itu kedengaran kasar. Maksudku sebenarnya…”
“Tunggu sebentar, aku gak suka nada ucapanku tadi. Aku ulang lagi.”
Langkah sederhana seperti ini menunjukkan kesadaran diri dan empati, yang bisa mencegah percakapan berubah menjadi pertengkaran besar. Dengan latihan, memperbaiki nada bicara bisa menjadi kebiasaan positif yang memperkuat hubungan jangka panjang.
Namun, Travers juga menyoroti bahwa konflik kerap muncul karena respon spontan terhadap nada tinggi pasangan. Saat seseorang bicara dengan nada keras atau menyindir, lawannya biasanya membalas dengan cara yang sama. Siklus ini memperburuk suasana dan menjauhkan pasangan dari inti masalah.
Untuk memutus rantai tersebut, Travers menyarankan agar seseorang tetap tenang dan memberi respons dengan kalimat yang lebih konstruktif, seperti:
“Aku gak suka cara kamu ngomong barusan. Bisa diulang dengan cara lain?”
“Aku mau dengar pendapatmu, tapi nada kamu bikin aku sulit fokus.”
“Aku tahu kamu kesal, tapi bisa jelaskan dengan lebih tenang?”
Kalimat seperti ini tidak mengandung tuduhan atau sikap defensif, melainkan dorongan lembut agar komunikasi tetap sehat. Namun, jika kedua pihak sudah sama-sama tersulut emosi dan defensif, salah satu perlu cukup dewasa untuk menekan tombol reset.
Travers menyebut hal ini sebagai “reset phrase”, yakni ungkapan atau tindakan kecil untuk mengembalikan suasana percakapan ke titik awal. Bentuknya bisa berupa ajakan ringan seperti “Ayo mulai dari awal”, lelucon kecil, atau gerakan nonverbal seperti menggenggam tangan pasangan.
“Kadang istri saya akan tertawa dan berkata, ‘Dengar deh, kita kayak remaja lagi berdebat.’ Kadang saya yang bercanda dan bilang, ‘Istirahat dulu yuk,’” ujar Travers.
Menurutnya, reset phrase bukan berarti menghapus perbedaan pendapat, melainkan menurunkan ketegangan emosional agar percakapan bisa kembali produktif.
Dalam pandangan Travers, kunci hubungan harmonis bukan sekadar seberapa sering pasangan menghindari pertengkaran, melainkan bagaimana mereka mengelola nada suara dan emosi saat berkomunikasi. Kesadaran kecil tentang intonasi bisa menjadi perbedaan besar antara hubungan yang penuh pertengkaran dan hubungan yang saling memahami.
Dengan belajar memperhatikan nada bicara, setiap pasangan dapat mengubah cara mereka menanggapi konflik — dari saling menyerang menjadi saling mendengar. Karena pada akhirnya, yang paling diingat bukanlah apa yang dikatakan, melainkan bagaimana seseorang membuat pasangannya merasa.

Mazroh Atul Jannah
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Garuda Indonesia Siapkan Rp 30 Triliun untuk Modal Kerja dan Operasi
- Rabu, 08 Oktober 2025
Berita Lainnya
Terpopuler
1.
Futura Energi Siap Jadi Holding EBT Usai Akuisisi Ardhantara
- 08 Oktober 2025
2.
Rukun Raharja (RAJA) Proyeksikan Laba Bersih Tumbuh 20 Persen
- 08 Oktober 2025
3.
4.
Multivitamin Kemhan untuk Dapur MBG Telah Bersertifikat BPOM
- 08 Oktober 2025
5.
Pemerintah Perkenalkan 16 Sekolah Garuda Serentak Hari Ini
- 08 Oktober 2025