Jakarta — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat aktivitas pengawasan yang cukup ketat sepanjang tahun 2024. Melalui tindakan tegas berupa pencabutan izin dan sanksi, OJK berusaha menata industri fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online agar lebih sehat dan dapat dipercaya oleh masyarakat. Pada tahun tersebut, OJK telah mencabut izin usaha empat penyelenggara fintech P2P lending dan mengeluarkan 661 sanksi administratif.
Dari empat entitas yang izinnya dicabut, dua di antaranya, yaitu TaniFund dan Investree, dikenai sanksi akibat tidak memenuhi ketentuan ekuitas minimum serta gagal melaksanakan rekomendasi pengawasan yang ditetapkan oleh OJK. “OJK melakukan penegakan hukum berupa pencabutan izin usaha terhadap TaniFund dan Investree dikarenakan kedua pindar tersebut tidak memenuhi ketentuan ekuitas minimum dan tidak melaksanakan rekomendasi pengawasan OJK,” ujar Plt. Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK, M. Ismail Riyadi, dalam kesempatan press conference di Jakarta, Senin, 3 Februari 2025.
Proses setelah pencabutan izin TaniFund pun telah dimulai. Tim Likuidasi PT Tani Fund Madani Indonesia melakukan pengumuman pembubaran perseroan melalui surat kabar pada 1 Agustus 2024, dan pengumuman tersebut termuat di Berita Negara Republik Indonesia (BNRI) Nomor 062 pada 02 Agustus 2024. Hingga akhir tahun 2024, OJK menerima sebanyak tujuh pengaduan terkait dengan TaniFund.
Masyarakat yang masih memiliki urusan terkait hak dan kewajiban dengan TaniFund diarahkan untuk menghubungi tim likuidasi yang dibentuk. “Terkait dengan dugaan tindak pidana yang terjadi di TaniFund, telah ditindaklanjuti dengan melaporkan kepada aparat penegak hukum sesuai dengan kewenangan,” tambah Ismail.
Penanganan serupa juga dilakukan pada Investree — salah satu fintech P2P lending terkemuka. Meski Investree lebih banyak menerima pengaduan sebanyak 85 kali setelah pencabutan izin usahanya, Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Investree telah menunjuk tim likuidasi yang bertugas menyelesaikan hak dan kewajiban perusahaan.
Dalam perkembangan lain terkait penanganan Direktur Utama Investree, OJK pun telah melakukan Penilaian Kembali Pihak Utama (PKPU) sesuai ketentuan POJK. Diungkapkan bahwa PKPU terhadap AAG, Direktur Utama Investree, tidak menghapuskan tanggung jawab serta dugaan perbuatan pidana dalam pengurusan Investree.
Upaya hukum juga diperluas melalui kerja sama OJK dengan Polri dan Interpol. “Melalui kolaborasi antara penyidik OJK dengan Polri, dua tersangka diharapkan dapat segera dihadirkan untuk kelanjutan proses penegakan hukum atas tindakan tersangka dan memberikan kejelasan atas nasib investor di Investree,” ujar Ismail.
Di tengah penegakan hukum terhadap para penyelenggara fintech P2P lending, OJK juga menanggapi isu yang melibatkan eFishery. Namun, Ismail menekankan bahwa eFishery bukanlah lembaga jasa keuangan di bawah pengawasan OJK, meskipun demikian, perkembangan terkait penyelesaian isu yang menyangkut entitas tersebut tetap dipantau.
Sebagai bentuk komitmen untuk menciptakan industri P2P lending yang sehat di Indonesia, OJK telah meluncurkan roadmap untuk periode 2023-2028 dan mengeluarkan beberapa regulasi penting. POJK Nomor 40 Tahun 2024 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) diterbitkan sebagai penyempurnaan dari peraturan sebelumnya untuk meningkatkan pengawasan dan menata industri ke depan.
OJK tak hanya berhenti pada peraturan yang ada, saat ini sedang dalam tahap penyusunan Rancangan Surat Edaran OJK (RSEOJK) tentang pengetatan kegiatan usaha LPBBTI, yang diharapkan dapat memperkuat pemahaman dan analisis risiko di kalangan penyelenggara pindar.
Dengan langkah-langkah ini, OJK berharap dapat memberikan kepercayaan terhadap industri fintech di Indonesia, melindungi konsumen serta menciptakan ekosistem fintech yang kondusif dan berkembang secara sehat.