Menghadapi Ancaman Defisit, BPJS Kesehatan Pertimbangkan Cost Sharing dan Kenaikan Iuran
- Kamis, 14 November 2024
BPJS Kesehatan sedang menghadapi tantangan serius terkait ancaman defisit yang diproyeksikan mencapai Rp20 triliun pada tahun ini. Angka ini muncul dari estimasi belanja BPJS Kesehatan yang diperkirakan mencapai Rp176 triliun, sementara pendapatannya tidak cukup untuk menutupi pengeluaran. Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti, menjelaskan bahwa salah satu penyebab utama defisit ini adalah peningkatan pemanfaatan layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), di mana masyarakat kini semakin sering menggunakan fasilitas kesehatan yang disediakan, sementara biaya layanan juga terus meningkat.
Kenaikan penggunaan layanan JKN ini bukan hanya terkait dengan kebutuhan perawatan dasar, tetapi juga klaim yang semakin banyak untuk penyakit berat atau katastropik seperti kanker. Ghufron menyampaikan bahwa jumlah pasien yang datang ke fasilitas kesehatan setiap hari kini melonjak drastis. Dulu, BPJS Kesehatan mencatat sekitar 252 ribu kunjungan per hari; kini, angka itu meningkat menjadi 1,7 juta kunjungan harian. Peningkatan yang signifikan ini menunjukkan bahwa semakin banyak peserta BPJS Kesehatan yang memanfaatkan layanan, namun juga menambah beban biaya bagi BPJS.
Ghufron menyoroti contoh kasus di mana sejumlah masyarakat yang didiagnosis penyakit berat di luar negeri, seperti kanker, memilih untuk pulang ke Indonesia dan melanjutkan pengobatan mereka menggunakan BPJS Kesehatan. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap layanan BPJS Kesehatan, namun juga berpotensi membebani anggaran BPJS Kesehatan karena biaya pengobatan penyakit serius seperti kanker sangat tinggi.
Baca JugaSarana Menara Nusantara Tandatangani Perubahan Perjanjian Kredit dengan Bank Danamon
BPJS Kesehatan telah merencanakan berbagai langkah untuk mengatasi ancaman defisit ini. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah penerapan *cost sharing* atau pembagian biaya antara BPJS dan peserta. Dalam sistem ini, peserta akan diminta membayar sebagian kecil dari biaya layanan saat berobat, yang tujuannya adalah untuk mengurangi lonjakan kunjungan yang tidak perlu dan membantu menambah pendapatan BPJS. Ghufron menekankan bahwa *cost sharing* ini dirancang agar tetap terjangkau dan tidak memberatkan masyarakat, sehingga diharapkan dapat mengendalikan pemanfaatan layanan tanpa membebani peserta.
Sementara itu, di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga menjadi perhatian. Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menyatakan bahwa kenaikan iuran adalah isu yang sensitif, terutama bagi peserta mandiri atau mereka yang membayar iuran tanpa subsidi dari pemerintah. Edy mengingatkan BPJS Kesehatan untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan ini, terutama mengingat bahwa perubahan kebijakan yang besar bisa menimbulkan reaksi yang cukup luas di kalangan masyarakat.
Terakhir kali BPJS Kesehatan menaikkan iuran adalah pada 2020, dan sesuai regulasi, iuran BPJS seharusnya dievaluasi setiap dua tahun. Meskipun begitu, Edy menekankan bahwa kenaikan iuran sebaiknya dipertimbangkan dengan matang dan tidak dijadikan satu-satunya solusi untuk menutupi defisit. Ada kekhawatiran bahwa kenaikan iuran bisa memberatkan kelompok ekonomi menengah ke bawah yang sudah tertekan oleh inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Selain itu, menurut pandangan dari Achmad Nur Hidayat, seorang ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, kenaikan iuran BPJS seharusnya menjadi pilihan terakhir untuk mengatasi masalah defisit ini. Achmad menjelaskan bahwa kenaikan iuran dapat berdampak langsung pada peserta, terutama pada pekerja informal dan peserta mandiri yang harus membayar sendiri iuran mereka. Menurutnya, kenaikan iuran dapat membuat golongan ekonomi rendah kesulitan untuk membayar premi bulanan, yang akhirnya berpotensi menurunkan jumlah kepesertaan BPJS.
Achmad juga memperingatkan bahwa kenaikan iuran akan berdampak pada pengeluaran rumah tangga. Dalam situasi ekonomi saat ini, kenaikan iuran berisiko memicu ketidakpuasan sosial dan menambah beban bagi masyarakat yang daya belinya sudah tertekan. Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, peningkatan biaya ini mungkin mengurangi akses mereka terhadap layanan kesehatan yang terjangkau.
Menyikapi kondisi ini, BPJS Kesehatan perlu mempertimbangkan berbagai opsi secara matang agar bisa menjaga kelangsungan layanan kesehatan tanpa membebani masyarakat yang menjadi pesertanya.
Redaksi
Energika.id adalah media online yang menyajikan berita sektor energi dan umum secara lengkap, akurat, dan tepercaya.
Rekomendasi
Kementerian BUMN Tunjuk Jisman P. Hutajulu Sebagai Komisaris Baru PT PLN (Persero)
- Kamis, 14 November 2024
Berita Lainnya
ITDC Perkenalkan Keindahan Danau Toba ke Dunia Lewat Ajang Jetski Aquabike 2024
- Kamis, 14 November 2024
Terpopuler
1.
Cara Cek Umur HP Samsung Terbaru
- 08 November 2024
2.
3.
10+ Ide Pesan Untuk Pacar LDR, Agar Hubunganmu Langgeng Terus!
- 03 November 2024
4.
5 Syarat Penarikan Kendaraan oleh Leasing yang Perlu Kamu Ketahui
- 01 November 2024