JAKARTA - Pemerintah menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan pekerja migran Indonesia (PMI).
Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamen PPPA), Veronica Tan, menegaskan bahwa Gugus Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) harus bekerja secara efektif dari tingkat pusat hingga daerah.
“Saya yakin semua pihak memiliki niat baik untuk menolong, baik dari sektor pemerintah maupun swasta. Kita perlu menggabungkan semua ide dan kemampuan menjadi satu platform,” ujar Veronica Tan. Ia menekankan pentingnya peran Gugus Tugas dalam mengelaborasi pembagian tugas yang jelas, agar setiap lembaga mengetahui perannya masing-masing.
Menurut Veronica Tan, penanganan perempuan pekerja migran yang rentan terhadap tindak pidana perdagangan orang membutuhkan kolaborasi nyata antara kementerian/lembaga, pemerintah daerah, penegak hukum, Balai Latihan Kerja, Kementerian P2MI, hingga organisasi masyarakat sipil. Tanpa sinergi yang terstruktur, penanganan migrasi aman akan sulit berjalan optimal.
“Kata kuncinya sederhana: kolaborasi. Kita memiliki empati dan tanggung jawab moral. Yang penting adalah tidak pernah lelah mencari solusi, karena ini adalah upaya bersama,” katanya.
Kebutuhan akan koordinasi yang kuat muncul di tengah banyaknya kasus perempuan Indonesia yang bekerja ke luar negeri melalui jalur non-prosedural. Faktor ekonomi yang mendesak dan minimnya pilihan pekerjaan layak di daerah asal sering mendorong perempuan mengambil jalur cepat, yang justru meningkatkan risiko eksploitasi dan menjadi korban TPPO.
Veronica Tan menyoroti bahwa sistem prosedural untuk penempatan pekerja migran masih cenderung panjang, rumit, dan mahal. Kondisi ini mendorong sebagian perempuan mencari jalur alternatif non-prosedural demi mendapatkan pekerjaan lebih cepat. Jalur tersebut sering kali melibatkan biaya besar, bahkan memaksa pekerja menanggung utang, sekaligus meningkatkan risiko menjadi korban penipuan atau perdagangan orang.
“Jalur prosedural yang ada sering kali tidak berpihak kepada pekerja migran. Meski motivasinya sederhana, yaitu mencari hidup lebih baik, sistem yang kompleks membuat banyak pekerja memilih jalur non-prosedur,” jelas Wamen PPPA.
Selain itu, Veronica menekankan pentingnya pembagian peran yang jelas antar-institusi agar setiap lembaga tahu kewenangan dan tanggung jawabnya. Selama ini, kendala birokrasi menjadi salah satu faktor yang membatasi efektivitas penanganan TPPO. Dengan sistem kerja yang lebih terkoordinasi, pengawasan dan perlindungan terhadap PMI dapat lebih optimal.
Wamen PPPA juga mendorong upaya preventif melalui edukasi dan pelatihan bagi calon pekerja migran. Program ini bertujuan meningkatkan kesadaran perempuan mengenai risiko bekerja di luar negeri dan mengarahkan mereka menggunakan jalur resmi yang aman. Pendidikan dan informasi tentang hak-hak pekerja, prosedur resmi, dan risiko non-prosedural menjadi strategi penting dalam mencegah kasus TPPO.
Keterlibatan masyarakat sipil juga dianggap vital. Lembaga swadaya masyarakat, kelompok advokasi, dan komunitas lokal dapat berperan sebagai pengawas dan pendamping bagi perempuan migran, khususnya mereka yang berasal dari daerah-daerah rawan praktik non-prosedural. Kolaborasi antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil diharapkan dapat membangun sistem perlindungan yang lebih menyeluruh.
Selain itu, Veronica Tan menegaskan bahwa pemberdayaan perempuan menjadi kunci dalam upaya mengatasi TPPO dari hulu. Dengan menyediakan akses kerja layak, pelatihan keterampilan, dan dukungan ekonomi di daerah asal, perempuan memiliki lebih banyak pilihan sehingga risiko mereka memilih jalur non-prosedural dapat diminimalkan.
“Kita harus memikirkan bagaimana membuka kesempatan bagi perempuan untuk bekerja dengan aman, memiliki keterampilan, dan memperoleh penghasilan tanpa harus mengambil risiko tinggi. Ini bagian dari strategi jangka panjang melindungi perempuan migran,” ujarnya.
Gugus Tugas TPPO, menurut Wamen PPPA, harus berfokus tidak hanya pada penindakan, tetapi juga pada pencegahan dan perlindungan. Peran koordinatif di pusat dan daerah menjadi sangat strategis agar seluruh langkah yang diambil bersinergi dan dapat menjangkau seluruh wilayah, terutama daerah pengirim PMI.
Dengan arahan yang jelas dan kolaborasi lintas sektor, pemerintah menargetkan terciptanya ekosistem migrasi aman bagi perempuan. Upaya ini mencakup perlindungan hukum, sosialisasi prosedur resmi, pemberdayaan ekonomi, hingga pemantauan secara berkelanjutan bagi calon PMI.
“Ini adalah kerja bersama yang menuntut komitmen semua pihak. Perempuan migran adalah aset bangsa, dan kita harus memastikan mereka bekerja dengan aman, terlindungi, dan memperoleh haknya secara adil,” tutup Veronica Tan.