JAKARTA - Upaya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memperkuat integritas institusi kembali ditegaskan melalui rencana pengetatan aturan bagi mantan pegawai yang ingin beralih menjadi konsultan pajak.
Kebijakan ini mencuat sebagai respons atas semakin kompleksnya pengelolaan data perpajakan negara serta meningkatnya risiko penyalahgunaan informasi sensitif yang berada dalam sistem DJP. Melalui penjelasan langsung dari Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, pemerintah ingin memastikan bahwa profesionalisme, keadilan, dan etika perpajakan tetap terjaga dalam setiap proses pelayanan kepada masyarakat.
Langkah ini menjadi penegasan bahwa DJP tidak hanya berfokus pada reformasi sistem dan teknologi perpajakan, tetapi juga pada aspek sumber daya manusia, terutama mereka yang memiliki akses langsung terhadap basis data negara. Kebijakan masa tunggu atau cooling-off period dianggap perlu diperkuat agar tidak terjadi potensi benturan kepentingan di kemudian hari, sekaligus menjaga kepercayaan wajib pajak terhadap lembaga perpajakan.
Risiko Benturan Kepentingan Jadi Pertimbangan Utama
Menurut Bimo, latar belakang dari kebijakan baru ini tidak lepas dari kekhawatiran atas potensi conflict of interest yang mungkin terjadi ketika mantan pegawai dengan pengalaman dan akses data sensitif langsung terjun sebagai konsultan pajak. Ia menjelaskan bahwa tantangan utama terletak pada posisi strategis yang sebelumnya dimiliki para pegawai DJP, yang membuat mereka dapat mengakses informasi perpajakan yang seharusnya terlindungi secara ketat.
Dalam Media Gathering di Bali pada Rabu, 25 November 2025, Bimo menegaskan bahwa potensi penyalahgunaan data bukanlah sesuatu yang dapat dianggap sepele. “Itu yang saya nggak ingin. Dan itu nggak dipahami selama ini sebagai bagian dari conflict on interest. Sebagai bagian dari data yang ada konsekuensi pidana atas penyalahgunaannya,” ujarnya.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa aturan yang lebih ketat menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa tidak ada celah yang dapat dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi maupun kelompok tertentu.
Aturan yang berjalan saat ini menetapkan masa tunggu selama dua tahun sebelum eks pegawai bisa bekerja sebagai konsultan pajak. Namun menurut Bimo, jangka waktu tersebut belum cukup kuat untuk mengantisipasi berbagai risiko yang mungkin muncul, terutama karena sifat data perpajakan yang sangat strategis.
Implementasi Coretax Tingkatkan Risiko Penyalahgunaan Data
Perkembangan teknologi perpajakan juga menjadi faktor penting dalam pengetatan kebijakan ini. Bimo menjelaskan bahwa sebelum adanya sistem Coretax, seorang pegawai pajak yang mengundurkan diri dapat dengan cepat beralih menjadi konsultan pajak atau bahkan partner di kantor akuntan publik (KAP).
Kondisi tersebut menjadi lebih rawan ketika DJP kini mengoperasikan Coretax, sebuah sistem modern yang mengintegrasikan, menganalisis, dan menyimpan seluruh data wajib pajak dalam satu platform besar.
Dengan kemampuan sistem yang semakin canggih, potensi penyalahgunaan data pun meningkat. Informasi yang tersimpan dalam Coretax mencakup berbagai detail yang sangat sensitif, sehingga tidak dapat dibiarkan berada di tangan pihak yang mungkin memanfaatkannya secara tidak tepat. Para mantan pegawai, meskipun sudah tidak menjabat, tentu memiliki pemahaman mendalam mengenai cara kerja sistem serta celah-celah yang mungkin dimanfaatkan.
Bimo menekankan bahwa sistem baru ini mengubah dinamika risiko secara signifikan. Jika aturan lama tetap diberlakukan, situasi tersebut bisa mempengaruhi keadilan dalam proses perpajakan, terutama jika ada mantan pegawai yang memanfaatkan relasi pribadi dengan pegawai aktif. Hal ini dapat menciptakan tekanan yang tidak semestinya serta ketidaksetaraan perlakuan antar wajib pajak.
Kebijakan Masa Tunggu untuk Menjaga Profesionalisme dan Keadilan
Untuk mengatasi persoalan tersebut, DJP memutuskan menetapkan masa tunggu baru yang lebih panjang. Mantan pegawai yang berhenti sebelum masa pensiun wajib menunggu selama lima tahun sebelum dapat menjalankan profesi sebagai konsultan pajak. Sedangkan bagi mereka yang pensiun secara paripurna, masa tunggu tetap diberlakukan selama dua tahun.
Langkah ini bertujuan menjaga jarak yang cukup antara masa kerja pegawai aktif dengan aktivitas profesional baru yang berkaitan dengan perpajakan. Dengan demikian, eks pegawai tidak lagi memiliki kedekatan struktural maupun akses yang relevan dengan sistem internal DJP saat memulai pekerjaan sebagai konsultan.
“Jadi ada masa tunggulah lima tahun untuk pegawai aktif. Kalau yang sudah paripurna itu ada masa tunggulah dua tahun saja. Ya mudah-mudahan itu bisa membuat kita lebih bisa optimum,” jelas Bimo.
Kebijakan baru ini diharapkan memberikan ruang yang cukup untuk mencegah potensi penyalahgunaan informasi maupun relasi profesional. Selain itu, langkah ini juga dipandang sebagai upaya memperkuat standar etika dalam profesi perpajakan, agar seluruh wajib pajak dapat merasakan perlakuan yang adil tanpa adanya intervensi dari pihak yang tidak seharusnya.
Dengan semakin modernnya sistem pengelolaan data dan meningkatnya kebutuhan akan transparansi, pengetatan aturan ini menjadi langkah penting dalam reformasi perpajakan nasional.
DJP menekankan bahwa integritas lembaga harus dijaga melalui regulasi yang tegas, baik bagi pegawai aktif maupun mereka yang akan memasuki dunia profesional di luar institusi. Kebijakan ini bukan hanya soal memperpanjang masa tunggu, tetapi juga menjaga kepercayaan publik, memastikan keadilan, dan menjaga agar data negara tetap terlindungi secara optimal.