Tren Kredit Hijau di Indonesia Didominasi Himbara, Bank Swasta Mulai Tumbuh

Selasa, 25 November 2025 | 11:47:25 WIB
Tren Kredit Hijau di Indonesia Didominasi Himbara, Bank Swasta Mulai Tumbuh

JAKARTA - Perbankan Indonesia tengah menghadapi era baru dalam pembiayaan berkelanjutan.

Data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa kredit hijau, meskipun masih didominasi oleh bank-bank milik pemerintah (Himbara), mulai menunjukkan pertumbuhan positif di kalangan bank swasta nasional dan bank pembangunan daerah (BPD). Tren ini menjadi indikator bahwa sektor keuangan Indonesia perlahan mengadopsi prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam praktik perbankan sehari-hari.

Dominasi Himbara dalam Penyaluran Kredit Hijau

OJK mencatat bahwa hingga akhir 2024, total penyaluran kredit berkelanjutan (Kredit Berbasis Lingkungan atau KUBL) mencapai Rp2.074 triliun, setara dengan 26,24 persen dari total kredit nasional. Mayoritas pembiayaan ini disalurkan melalui Himbara, yang secara konsisten menempatkan diri sebagai pemimpin dalam pengembangan portofolio hijau.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan bahwa dominasi ini wajar mengingat kapasitas Himbara yang besar dan jaringan luas di berbagai sektor ekonomi. “Tren positif mulai terlihat pada bank swasta nasional dan BPD yang mulai mengembangkan portofolio hijau serta produk berorientasi ESG, meskipun skalanya masih terbatas,” ujar Dian dalam pernyataan resmi di Jakarta, Senin.

Sektor Unggulan Kredit Berkelanjutan

Analisis OJK menunjukkan bahwa mayoritas kredit hijau disalurkan ke sektor UMKM, mencapai 69,01 persen dari total portofolio. Sektor keanekaragaman hayati menempati posisi kedua dengan porsi 16,59 persen, sementara kegiatan berwawasan lingkungan lain menyumbang 3,34 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pembiayaan berkelanjutan di Indonesia masih sangat berakar pada aktivitas produktif rakyat dan sektor yang bersentuhan langsung dengan alam.

Menurut OJK, potensi besar terletak pada kemampuan sektor ini untuk dikembangkan menjadi green lending yang lebih terarah dan berdampak, terutama karena masyarakat dan industri lokal semakin menyadari urgensi ekonomi hijau.

Risiko dan Peluang Perubahan Iklim bagi Perbankan

Dian menekankan bahwa perubahan iklim telah menjadi faktor penting yang memengaruhi sektor keuangan. Dampak nyata perubahan iklim dapat terlihat pada sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan, yang sangat bergantung pada kondisi alam. Dari perspektif regulator, ini menghadirkan dua sisi bagi perbankan.

Pertama, risiko iklim meningkatkan ketidakpastian terhadap kinerja sektor-sektor tersebut. Risiko fisik seperti gagal panen atau gangguan rantai pasok, serta risiko transisi akibat regulasi baru, dapat memengaruhi kualitas kredit. Oleh karena itu, OJK mendorong perbankan untuk mengintegrasikan analisis risiko iklim ke dalam proses penyaluran kredit, termasuk melalui pengembangan Climate Risk Management and Scenario Analysis (CRMS).

Kedua, perubahan iklim membuka peluang investasi baru. Solusi berbasis alam (nature-based solutions), pertanian berkelanjutan, energi terbarukan di wilayah pedesaan, dan pembangunan infrastruktur adaptasi iklim menawarkan peluang bisnis yang menjanjikan. Hal ini menegaskan bahwa ekonomi hijau bukan sekadar tren, melainkan langkah strategis untuk menjaga daya saing sektor keuangan Indonesia di era global.

Peran Strategis OJK dalam Keuangan Berkelanjutan

OJK tidak hanya fokus pada mitigasi risiko, tetapi juga mendorong sektor keuangan berperan aktif dalam pembiayaan transisi menuju ekonomi hijau. Berbagai kebijakan telah disiapkan, termasuk Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI), serta revisi Peraturan OJK No. 51/2017 tentang Keuangan Berkelanjutan.

Implementasi CRMS di bank-bank besar maupun swasta bertujuan memastikan bahwa setiap kegiatan pembiayaan mempertimbangkan risiko iklim secara menyeluruh. Dengan cara ini, bank tidak hanya melindungi diri dari potensi kerugian, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan yang lebih luas.

Pertumbuhan Bank Swasta dan BPD

Meskipun Himbara tetap memimpin, pertumbuhan kredit hijau di bank swasta nasional dan BPD mulai terlihat. Dian Ediana Rae menyebutkan bahwa meski skala masih terbatas, langkah ini menandakan perubahan paradigma dalam praktik perbankan Indonesia. Bank swasta dan BPD mulai merancang produk berbasis ESG yang sesuai kebutuhan nasabah dan kondisi lokal, sehingga potensi pengembangan green lending semakin terbuka.

Tren ini juga selaras dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dan investor terhadap isu keberlanjutan. Bank yang mampu menyesuaikan diri dengan prinsip ESG tidak hanya memperkuat reputasi, tetapi juga menciptakan nilai ekonomi jangka panjang.

Secara keseluruhan, data OJK menegaskan bahwa kredit hijau di Indonesia didominasi oleh Himbara, namun tren positif mulai muncul di kalangan bank swasta dan BPD. Integrasi prinsip ESG, pengelolaan risiko iklim, dan inovasi produk hijau menjadi kunci dalam memperkuat peran sektor keuangan menuju ekonomi berkelanjutan. Dengan dukungan regulasi OJK yang progresif, industri perbankan Indonesia diprediksi mampu memainkan peran strategis dalam transisi menuju ekonomi hijau dan berketahanan iklim.

Terkini