Jakarta – Baterai bekas imbas dari membludaknya kendaraan listrik (EV) berpotensi menjadi ancaman lingkungan setidaknya pada tahun 2040.
Studi dari Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) berjudul 'Reuse of Electric Vehicle Batteries in ASEAN' menyebutkan, potensi tingginya jumlah baterai bekas di seluruh kawasan ASEAN.
“Indonesia menjadi salah satu negara penyumbang baterai bekas tertinggi,” demikian dikutip dari studi tersebut.
Dalam skenario acuan, menunjukkan tingkat elektrifikasi paling lambat dengan pangsa penjualan sekitar 30 persen kendaraan listrik pada 2040, baterai bekas tetap akan menjadi masalah lingkungan.
Studi merinci, pada 2030, jumlah baterai bekas mencapai 8 GWh, dan 53 GWh pada 2040. Secara kumulatif pada periode 2020-2040, ERIA menghitung bakal ada 325 GWh baterai bekas. Jika rata-rata satu unit baterai EV punya kapasitas 50 KWh, maka pada 2040 baterai bekas kurang lebih mencapai 6,5 juta unit.
"Perlu mekanisme khusus untuk menangani sejumlah besar baterai bekas tersebut. Misalnya, salah satu metode yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan kembali baterai tersebut sebagai baterai cadangan untuk pembangkitan daya energi terbarukan variabel," ungkap para peneliti.
Studi menyarankan, selain mempromosikan elektrifikasi kendaraan sebagai upaya beralih dari energi fosil, pemerintah dan produsen EV perlu mempertimbangkan berbagai pilihan untuk menggunakan kembali atau pun mendaur ulang baterai.
Penelitian terpisah yang dilakukan Hans Eric Melin dari Circular Energy Storage mengungkap sekitar 180.000 ton baterai lithium-ion (Li-ion), termasuk dari mobil listrik, habis masa pakai secara global pada 2018.
Studi dari Circular Energy Storage tersebut menyebutkan, walaupun kendaraan listrik jauh lebih ramah lingkungan ketimbang mobil berbahan bakar minyak (BBM), electric vehicle (EV) punya potensi bahayanya sendiri untuk lingkungan.
“Potensi bahaya dari EV adalah kontaminasi sisa baterai terhadap lingkungan,” sebut studi tersebut.
Sejalan, Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap potensi limbah dari baterai EV yang perlu diwaspadai antara lain baterai bekas pakai, limbah dari proses produksi baterai, serta limbah dari proses daur ulang baterai yang mengandung logam berat dan bahan kimia berbahaya.
Baterai kendaraan listrik umumnya menggunakan baterai lithium ion (LIB), yang terdiri atas katoda, anoda, elektrolit, separator, dan berbagai komponen lainnya.
Peneliti Pusat Riset Sistem Nanoteknologi di BRIN, Octia Flowerin, mengatakan daur ulang baterai bekas dapat dilakukan dengan beberapa metode.
"Metode daur ulang baterai bekas yang paling umum adalah pirometalurgi, hidrometalurgi, dan daur ulang secara langsung," kata dia, dikutip dari situs BRIN pada Selasa (12/11)
Ia menjabarkan metode daur ulang baterai itu antara lain, pertama, pirometalurgi. Metode ini dilakukan dengan cara memanaskan baterai bekas pada suhu tinggi hingga menghasilkan logam murni. Cara ini membutuhkan energi yang besar.
Kedua, hidrometalurgi. Metode ini digelar dengan cara melarutkan logam dari baterai bekas menggunakan larutan kimia. Metode ini menghasilkan logam murni dengan energi yang lebih rendah ketimbang pirometalurgi.
Octia dan timnya mengembangkan metode hidrometalurgi memakai asam askorbat. "Metode ini menghasilkan logam murni dengan efisiensi yang tinggi dan energi yang rendah," kata salah satu peneliti dari Kelompok Riset Material Fungsional Dimensi Rendah ini.
Ketiga, daur ulang secara langsung. Metode ini dilakukan dengan cara mengubah baterai bekas menjadi katoda baterai baru. Cara ini membutuhkan energi yang paling rendah dari pada metode lainnya, namun hanya dapat dilakukan untuk baterai jenis tertentu.
Kepala Pusat Riset Teknologi Transportasi, Organisasi Riset Energi dan Manufaktur (OREM) BRIN, Aam Muharam, menyebut proses daur ulang (recycle) limbah baterai itu biasanya diawali dengan penyortiran untuk mengetahui kapasitas/usia baterai relatif terhadap end-of-cycle-nya.
Jika kapasitas baterai di antara 50-80 persen, kata dia, baterai bekas tersebut bisa digunakan kembali (reuse) sebagai second life battery. Second life battery merupakan baterai yang digunakan kembali untuk aplikasi berbeda, seperti untuk aplikasi energy storage atau stationary use.
Apabila baterai sudah mencapai kapasitas di bawah 50 persen, baterai bisa didaur ulang untuk mendapatkan material berharga dari baterai bekas untuk menghasilkan baterai baru. Daur ulang ulang dapat juga melibatkan penggunaan baterai bekas sebagai bahan baku untuk membuat produk baru yang berbeda dari baterai, seperti pigmen keramik atau logam paduan.
"Baterai bekas hasil daur ulang memerlukan uji atau test durability ulang seberapa jauh dapat dioperasikan kembali. Harus ada regulasi atau standar yg mengatur terkait hal ini," kata Aam seperti dilansir Antara, Selasa (12/11)
Mengomentari sejumlah studi terkait baterai bekas EV tersebut, Honda Motor Co., LTD., Jepang, misalnya, berkolaborasi dengan POSCO Holdings Inc. menjajaki kemungkinan kolaborasi di beberapa bidang-bidang yang mendukung netral karbon, termasuk daur ulang baterai.
"Selain produksi EV, Honda akan memperluas cakupan bisnisnya ke bisnis siklus hidup baterai, yang mencakup bidang layanan pengisian daya, layanan energi, dan penggunaan kembali/daur ulang," mengutip 'Summary of 2024 Honda Business Briefing on Direction of Electrification Initiatives and Investment Strategy'.
Sementara, Mitsubishi Fuso Truck and Bus Corporation (MFTBC) akan membangun fasilitas pengujian untuk memulihkan material dari baterai bekas di Pabrik Kawasaki, bermitra dengan True 2 Materials Pte. Ltd (T2M), perusahaan asal Singapura.
Menurut keterangan pers resminya, Mitsubishi Fuso akan menggunakan pabrik percontohan untuk mengevaluasi penggunaan kembali material anoda, katoda, dan elektrolit oleh pembuat sel baterai mulai 2025.
T2M sendiri mengembangkan Total Material Recovery (TMR), teknologi untuk memproses baterai bekas dan bekas menjadi anoda dan katoda yang dapat digunakan sambil meminimalkan hilangnya bahan baku dan nilainya serta mengurangi dampak lingkungan.
Proses TMR menggunakan teknik molekuler tingkat nano dan berbeda dari daur ulang baterai pirometalurgi dan hidrometalurgi konvensional. Teknologi ini memungkinkan pemulihan hingga 99,9 persen dari semua sumber daya baterai kendaraan listrik, persentase yang lebih tinggi daripada metode konvensional, sehingga memaksimalkan nilai sumber daya baterai.
Proses baru ini juga sangat mengurangi jumlah CO2 dan emisi lainnya, sehingga mengurangi dampak lingkungan dari proses pembongkaran. Selain itu, diharapkan biaya pemrosesan logam, yang umumnya mencakup hampir 75 persen dari biaya seluruh proses daur ulang, akan berkurang secara signifikan.
Upaya untuk menggenjot komitmen transisi energi baik beserta faktor pendukungnya juga menjadi fokus utama dari sejumlah lembaga dalam negeri, salah satunya PT PLN (Persero). PLN bersama dengan Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) menyelenggarakan event Electricity Connect 2024, yang digelar pada 20-22 November di Jakarta Convention Center (JCC).
Acara ini bertujuan memperkuat kolaborasi global untuk transisi energi di Indonesia, khususnya dalam mendukung transisi energi menuju net zero emission pada 2060. Bertema 'Go Beyond Power Energizing The Future', event ini rencananya bakal dihadiri lebih dari 500 exhibitor dan 15.000 pengunjung dari berbagai profesi bidang ketenagalistrikan.
Forum ini pun diharapkan jadi ajang bertukar wawasan tentang teknologi energi bersih, smart grid, dan target net zero emission dalam rangka mendukung upaya Indonesia menuju ketahanan energi dan integrasi ASEAN.