Tak Cukup Hilirisasi Tambang: Pemerintah Butuh Diversifikasi Ekonomi

Senin, 23 September 2024 | 13:35:59 WIB
ilustrasi tambang

Jakarta, Indonesia – Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih memberikan perhatian besar terhadap pengembangan hilirisasi, khususnya di sektor sumber daya alam. 

Dalam waktu 30 hari sebelum purnatugas, Presiden menekankan pentingnya mempertahankan momentum penghiliran, terutama di sektor pertambangan.

Dalam pidatonya pada Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXI di Surakarta, Kamis (19/9), Jokowi menegaskan bahwa hilirisasi adalah kunci untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi. Pernyataan ini menunjukkan komitmen kuat untuk menjaga keberlanjutan program hilirisasi, meskipun tantangan di masa depan masih signifikan.

Sejak dimulai pada tahun 2014, hilirisasi nikel Indonesia telah menunjukkan peningkatan yang substansial. Saat ini, terdapat delapan fasilitas smelter nikel yang sudah beroperasi, dengan total investasi mencapai antara Rp50 triliun hingga Rp60 triliun.

Pekan depan, dua smelter nikel baru dijadwalkan mulai beroperasi. Salah satunya adalah milik PT Amman Mineral Internasional Tbk di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), sementara smelter lainnya milik PT Freeport Indonesia di Gresik. Penambahan ini akan memperluas portofolio proyek hilirisasi besar di Indonesia.

Selain nikel, Jokowi juga menegaskan pentingnya hilirisasi bauksit dan tembaga, yang saat ini sedang berlangsung di Kalimantan Barat. Smelter nikel di Sumbawa Barat dan Gresik menjadi bagian penting dari peta jalan hilirisasi yang digenjot pemerintah.

Data yang mendukung program hilirisasi tambang adalah nilai ekspor nikel Indonesia yang melonjak menjadi US$30 miliar tahun lalu. Hal ini mengukuhkan posisi Indonesia sebagai salah satu produsen nikel terbesar di dunia.

Sementara itu, investasi di sektor non-tambang juga menunjukkan hasil positif. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), investasi di sektor kehutanan mencapai Rp24,5 triliun dan sektor perkebunan mencapai Rp12,5 triliun dalam dua tahun terakhir. Meskipun masih lebih kecil dibanding sektor tambang, ini menunjukkan potensi besar untuk memperluas hilirisasi ke sektor lain, seperti pertanian, kehutanan, dan perkebunan.

Perlunya Diversifikasi Hilirisasi Sektor

Indonesia, yang tengah gencar mendorong program hilirisasi, tengah menghadapi tantangan untuk menyeimbangkan fokus pada sektor pertambangan dengan potensi pertumbuhan sektor-sektor lainnya. Meskipun hilirisasi pertambangan telah memberikan manfaat ekonomi yang signifikan, para ahli memperingatkan risiko ketergantungan yang berlebihan pada satu komoditas saja.

Kesuksesan Indonesia dalam hilirisasi, terutama di industri nikel, telah menjadikan negara ini salah satu pemain utama dalam rantai pasokan global. Namun, dominasi pertambangan telah menimbulkan kekhawatiran tentang potensi kerentanan ekonomi terhadap fluktuasi harga komoditas dan tren pasar global. Pasalnya, penghiliran yang dilakukan di era pemerintahan Jokowi selama 10 tahun terakhir ini, tidak berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Menurut Indef, hilirisasi yang dilakukan oleh Jokowi, sebagai program unggulannya, tidak mampu mengangkat pertumbuhan ekonomi melewati 5%.  Penyebabnya tentu karena sektor tambang di Indonesia hanya menguntung segelentir pihak saja, karena bukan sektor padat karya.

Karena itu, ISEI meminta agar pemerintah juga dapat memperkuat penghiliran sektor nonmineral, seperti sektor pangan. Menurutnya, sektor pangan belakangan ini sangat terabai, alih-alih memperkuat, pemerintah justru mengimpor pangan untuk memenuhi kebutuhan.

Pemerintah juga perlu berupaya untuk mendiversifikasi ekonomi dan mempromosikan hilirisasi di sektor-sektor lain, seperti pertanian, kehutanan, dan manufaktur. Sektor-sektor ini menawarkan potensi besar untuk menciptakan lapangan kerja, mengembangkan daerah pedesaan, dan meningkatkan ekspor.

Terkini